Kamis, 29 Desember 2011

PH TANAH

  • pH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional.
Konsep pH pertama kali diperkenalkan oleh kimiawan Denmark Søren Peder Lauritz Sørensen pada tahun 1909. Tidaklah diketahui dengan pasti makna singkatan "p" pada "pH". Beberapa rujukan mengisyaratkan bahwa p berasal dari singkatan untuk powerp (pangkat), yang lainnya merujuk kata bahasa Jerman Potenz (yang juga berarti pangkat), dan ada pula yang merujuk pada kata potential. Jens Norby mempublikasikan sebuah karya ilmiah pada tahun 2000 yang berargumen bahwa p adalah sebuah tetapan yang berarti "logaritma negatif"
Air murni bersifat netral, dengan pH-nya pada suhu 25 °C ditetapkan sebagai 7,0. Larutan dengan pH kurang daripada tujuh disebut bersifat asam, dan larutan dengan pH lebih daripada tujuh dikatakan bersifat basa atau alkali. Pengukuran pH sangatlah penting dalam bidang yang terkait dengan kehidupan atau industri pengolahan kimia seperti kimia, biologi, kedokteran, pertanian, ilmu pangan, rekayasa (keteknikan), dan oseanografi. Tentu saja bidang-bidang sains dan teknologi lainnya juga memakai meskipun dalam frekuensi yang lebih rendah. 
  • Definisi
          pH didefinisikan sebagai minus logaritma dari aktivitas ion hidrogen dalam larutan berpelarut air. pH merupakan kuantitas tak berdimensi. dengan aH adalah aktivitas ion hidrogen. Alasan penggunaan definisi ini adalah bahwa aH dapat diukur secara eksperimental menggunakan elektroda ion selektif yang merespon terhadap aktivitas ion hidrogen ion. pH umumnya diukur menggunakan elektroda gelas yang mengukur perbedaan potensial E antara elektroda yang sensitif dengan aktivitas ion hidrogen dengan elektroda referensi. Perbedaan potensial pada elektroda gelas ini idealnya mengikuti persamaan Nernst: dengan E adalah potensial terukur, E0 potensial elektroda standar, R tetapan gas, T temperatur dalam kelvin, F tetapan Faraday, dan n adalah jumlah elektron yang ditransfer. Potensial elektroda E berbanding lurus dengan logartima aktivitas ion hidrogen.
          Definisi ini pada dasarnya tidak praktis karena aktivitas ion hidrogen merupakan hasil kali dari konsentrasi dengan koefisien aktivitas. Koefisien aktivitas ion hidrogen tunggal tidak dapat dihitung secara eksperimen. Untuk mengatasinya, elektroda dikalibrasi dengan larutan yang aktivitasnya diketahui.
          Definisi operasional pH secara resmi didefinisikan oleh Standar Internasional ISO 31-8 sebagai berikut Untuk suatu larutan X, pertama-tama ukur gaya elektromotif EX sel galvani elektroda referensi | konsentrasi larutan KCl || larutan X | H2 | Pt
dan kemudian ukur gaya elektromotif ES sel galvani yang berbeda hanya pada penggantian larutan X yang pHnya tidak diketahui dengan larutan S yang pH-nya (standar) diketahui pH(S). pH larutan X oleh karenanya.
          Perbedaan antara pH larutan X dengan pH larutan standar bergantung hanya pada perbedaan dua potensial yang terukur. Sehingga, pH didapatkan dari pengukuran potensial dengan elektroda yang dikalibrasikan terhadap satu atau lebih pH standar. Suatu pH meter diatur sedemikiannya pembacaan meteran untuk suatu larutan standar adalah sama dengan nilai pH(S). Nilai pH(S) untuk berbagai larutan standar S diberikan oleh rekomendasi IUPAC. Larutan standar yang digunakan sering kali merupakan larutan penyangga standar. Dalam prakteknya, adalah lebih baik untuk menggunakan dua atau lebih larutan penyangga standar untuk mengijinkan adanya penyimpangan kecil dari hukum Nerst ideal pada elektroda sebenarnya. Oleh karena variabel temperatur muncul pada persamaan di atas, pH suatu larutan bergantung juga pada temperaturnya.
          Pengukuran nilai pH yang sangat rendah, misalnya pada air tambang yang sangat asam, memerlukan prosedure khusus. Kalibrasi elektroda pada kasus ini dapat digunakan menggunakan larutan standar asam sulfat pekat yang nilai pH-nya dihitung menggunakan parameter Pitzer untuk menghitung koefisien aktivitas.
          pH merupakan salah satu contoh fungsi keasaman. Konsentrasi ion hidrogen dapat diukur dalam larutan non-akuatik, namun perhitungannya akan menggunakan fungsi keasaman yang berbeda. pH superasam biasanya dihitung menggunakan fungsi keasaman Hammett, H0.
          Umumnya indikator asam-basa sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit / konduktivitas suatu larutan.
Ø p[H]
          Menurut definisi asli Sørensen , p[H] didefinisikan sebagai minus logaritma konsentrasi ion hidrogen. Definisi ini telah lama ditinggalkan dan diganti dengan definisi pH. Adalah mungkin untuk mengukur konsentrasi ion hidrogen secara langsung apabila elektroda yang digunakan dikalibrasi sesuai dengan konsentrasi ion hidrogen. Salah satu caranya adalah dengan mentitrasi larutan asam kuat yang konsentrasinya diketahui dengan larutan alkali kuat yang konsentrasinya juga diketahui pada keberadaan konsentrasi elektrolit latar yang relatif tinggi. Oleh karena konsentrasi asam dan alkali diketahui, adalah mudah untuk menghitung ion hidrogen sehingga potensial yang terukur dapat dikorelasikan dengan kosentrasi ion. Kalibrasi ini biasanya dilakukan menggunakan plot Gran. Kalibrasi ini akan menghasilkan nilai potensial elektroda standar, E0, dan faktor gradien, f, sehingga persamaan Nerstnya berbentuk.
          Persamaan ini dapat digunakan untuk menurunkan konsentrasi ion hidrogen dari pengukuran eksperimental E. Faktor gradien biasanya lebih kecil sedikit dari satu. Untuk faktor gradien kurang dari 0,95, ini mengindikasikan bahwa elektroda tidak berfungsi dengan baik. Keberadaan elektrolit latar menjamin bahwa koefisien aktivitas ion hidrogen secara efektif konstan selama titrasi. Oleh karena ia konstan, maka nilainya dapat ditentukan sebagai satu dengan menentukan keadaan standarnya sebagai larutan yang mengandung elektrolit latar. Dengan menggunakan prosedur ini, aktivitas ion akan sama dengan nilai konsentrasi.
          Perbedaan antara p[H] dengan pH biasanya cukup kecil. Dinyatakan bahwa pH = p[H] + 0,04. Pada prakteknya terminologi p[H] dan pH sering dicampuradukkan dan menyebabkan kerancuan.
Ø pOH
          pOH kadang-kadang digunakan sebagai satuan ukuran konsentrasi ion hidroksida OH. pOH tidaklah diukur secara independen, namun diturunkan dari pH. Konsentrasi ion hidroksida dalam air berhubungan dengan konsentrasi ion hidrogen berdasarkan persamaan
[OH] = KW /[H+]
dengan KW adalah tetapan swaionisasi air. Dengan menerapkan kologaritma:
pOH = pKW − pH.
Sehingga, pada suhu kamar pOH ≈ 14 − pH. Namun hubungan ini tidaklah selalu berlaku pada keadaan khusus lainnya.

BAGAN WARNA DAUN (BWD)

Bagan Warna Daun (BWD)
Bagan Warna Daun (BWD)
Anischan Gani
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Pesan kunci :
  • Waktu pemupukan N yang tepat pada tanaman dapat meningkatkan efisiensi
  • Gejala kekurangan N paling jelas dan umum adalah berkurangnya warna hijau dari daun
  • BWD merupakan alat sederhana yang mudah digunakan dan murah, untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi
Pendahuluan
Pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil yang tinggi membutuhkan suplai nitrogen (N) yang cukup, bila suplai N tak cukup tanaman akan mengalami kekurangan N, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan organ dan keseluruhan tanaman yang tidak normal. Gejala kekurangan N yang paling jelas dan biasa terlihat adalah berkurangnya warna hijau dari dedaunan (chlorosis), yang umumnya agak terdistribusi merata pada keseluruhan daun. Daun menjadi lebih pucat, menguning, dan pada kondisi kekurangan N yang gawat menjadi mati. Pada tanaman serealia, kekurangan N ditandai oleh berkurangnya anakan; jumlah malai per satuan luas dan juga jumlah gabah per malai berkurang. Karena itu, pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya padi, berhubungan erat dengan warna hijau dari daun.
Efisiensi penggunaan pupuk N rendah, hanya 19-47% dari N yang diberikan bisa diserap tanaman padi. Pemberian N yang tepat waktu ke tanaman adalah suatu usaha yang dapat meningkatkan efisiensi N, sedangkan tiga kali pemberian pupuk N pada padi sawah biasa disarankan untuk mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi. Disamping itu, mengetahui kapan tanaman padi benar-benar memerlukan tambahan pupuk N akan sangat membantu, dan ini dapat memberikan peningkatan efisiensi serapan N yang nyata; dan ini dapat dilakukan dengan memonitor warna daun tanaman padi.
Warna daun adalah suatu indikator yang berguna bagi kebutuhan pupuk N tanaman padi. Daun yang bewarna pucat atau hijau kekuningan menunjukkan bahwa tanaman kekurangan N. Terdapat dua metoda pengukuran warna daun dengan mudah dilapang; menggunakan peralatan mesin dan menggunakan alat sederhana. Beberapa alat pengukur ini mempunyai kekurangan seperti kerusakan pada tanaman, memerlukan peralatan yang mahal, dan kesulitan dalam pengukuran.
Skala warna, yang tersusun dari suatu seri warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua, sesuai dengan warna-warna daun di lapang, dapat digunakan untuk mengukur warna daun. Bila suatu nilai warna daun lebih rendah dari batas kritis tertentu, maka tanaman memerlukan pupuk N tambahan. Bagan Warna Daun (BWD) yang didistribusikan oleh CREMNET-IRRI untuk tanaman padi, adalah suatu alat yang sederhana, mudah digunakan dan tidak mahal, untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi. Alat ini cocok untuk mengoptimalkan penggunaan N, untuk berbagai sumber pupuk N yang diberikan. Alat ini terdiri dari empat warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua. BWD ini lah yang ingin kita kenalkan secara luas pada komunitas pertanian di NAD, termasuk para penyuluh dan petani. Lebih jauh, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan pengertian tentang pentingnya pemupukan N pada tanaman padi dan dasar pengertian tentang penggunaan BWD.
Nitrogen dalam produksi tanaman
Unsur hara N yang ada dalam hampir semua tanah tidak mencukupi bagi kebutuhan tanaman, karena itu tambahan N harus diberikan untuk mempertahankan atau meningkatkan hasil. Dari semua unsur hara yang diberikan ke tanah, sejauh ini pemupukan N paling berpengaruh dalam peningkatan produksi tanaman. Tak dapat diragukan lagi, pemupukan N adalah suatu faktor penting dalam produksi tanaman. Gejala kekurangan N yang paling mudah terlihat adalah menguningnya dedaunan (chlorosis) karena hilangnya chlorofil, pigmen hijau yang berperan dalam proses fotosintesis, yang terdistribusi agak merata pada keseluruhan daun. Kekurangan N dicirikan oleh kecepatan pertumbuhan yang rendah dan tanaman kerdil (Devlin and Witham 1983; Mengel and Kirkby 1979).
Efisiensi penggunaan pupuk N oleh tanaman serealia adalah rendah, walaupun tersedia varietas-varietas unggul dan hibrida yang berpotensi hasil tinggi. Rendahnya efisiensi pupuk N pada tanaman ini disebabkan oleh banyaknya N yang hilang karena curah hujan tinggi serta penanganan pupuk dan tanaman yang kurang baik (Prasad 1986). Data dalam Tabel 1 memperlihatkan tingkat pengembalian (recovery rates) berbagai bentuk pupuk N pada tanaman padi. Hanya 19-47% dari N yang diberikan dapat diserap oleh tanaman padi. Mukherjee (1986) juga sudah melaporkan bahwa, pada kondisi paling optimum, penyerapan pupuk N yang diberikan ke tanaman hanyalah sekitar 40-50%.
Tabel 1. Kembalian (recovery) pupuk N oleh tanaman padi.
Sumber N
Takaran (kg/ha)
Kembalian (%)
Urea
50-150
30.2
Natrium nitrat
40-120
19.4
Amonium sulfat
40-120
39.6
Neem cake coated urea
100
47.4
Sulphur coated urea
100
37.7
Urea+N-Serve
100
41.7
Sejumlah hibrida dan komposit tanaman padi yang responsif pupuk N dan berpotensi hasil tinggi (unggul) sudah ada sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk N. Disamping itu, pemberian pupuk N tepat-waktu ke tanaman adalah suatu usaha yang dapat berpengaruh terhadap efisiensi pemberian N. Berbagai hasil penelitian di China, India, Filipina dan Indonesia menyarankan pemberian 2 sampai 3 kali untuk mendapatkan efisiensi pemupukan N yang lebih tinggi. Namun, bagi varietas berumur panjang dan tanah lebih ringan diperlukan pemberian yang lebih sering lagi. Mengetahui kapan waktunya tanaman benar-benar memerlukan tambahan N dari pupuk akan sangat membantu, sehingga pupuk N yang diberikan akan langsung diserap. Usaha ini akan berdampak bagi peningkatan efisiensi penyerapan N yang nyata.
Sudah sejak lama warna daun tanaman padi dianggap penting, yang dapat digunakan sebagai indikator bagi pertumbuhan organ-organ tanaman, dan bahkan bagi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Petani-petani umumnya menggunakan warna daun sebagai suatu indikator visual dan subjektif bagi kebutuhan tanaman padi akan pupuk N. Bila daun-daun pucat atau hijau kekuningan, para petani menganggap bahwa tanaman memerlukan lebih banyak N. Dalam penelitian-penelitian juga telah diketahui bahwa intensitas warna daun langsung berhubungan dengan khlorofil dan status N dari daun.
Pengukuran luas daun tanaman padi
Furuya (1987) melaporkan bahwa selama tahun selama 1980-an warna daun menjadi lebih diperhatikan karena warna daun paling baik menunjukkan status nutrisi tanaman. Sejak itu, penelitian tentang cara pengukuran warna daun mengalami kemajuan, dan memudahkan pengukuran warna daun di lapang. Terdapat dua cara pengukuran; penggunaan mesin atau penggunaan alat sederhana. Suatu alat yang disebut “Skala warna daun padi baku” (Standard rice leaf colour scale)  telah dibuat. Skala warna ini digunakan untuk mengukur warna daun dari daun tunggal atau komunitas tanaman. Dalam aplikasi skala warna di atas, berbagai penelitian memperlihatkan bahwa pengukuran daun tunggal menunjukkan korelasi nyata dengan rata-rata kandungan N dan komponen-komponen hasil pada kebanyakan varietas padi. Dari berbagai penelitian jelas terlihat bahwa pemberian pupuk N meningkatkan nilai skala ini. Lebih jauh, skala warna ini telah digunakan pada beberapa tanaman dalam menentukan status N tanaman.
Beberapa metoda pengukuran mempunyai kelemahan termasuk kerusakan pada tanaman, memerlukan peralatan yang mahal, dan kesulitan dalam pengukuran. Sebagai contoh, fluoresensi khlorofil sering digunakan untuk menganalisis fotosintesa tanpa merusak tanaman. Karena itu, perubahan fluoresen adalah suatu indeks yang berguna untuk menunjukkan efisiensi fotosintesis, juga kondisi khlorofil dan kehijauan daun. Salah satu fluorometer ini disebut MINIPAM, namun penggunaannya terbatas (Kim et al. 2006). Suatu alat yang sederhana, walaupun mahal, dapat menentukan jumlah khlorofil dalam daun tanaman, disebut SPAD-502 (KONICA MINOLTA 1989) secara digital mencatat jumlah relatif dari molekul khlorofil, jadi sangat sensitif dan akurat. Pencatatannya, disebut nilai SPAD, diperhitungkan berdasarkan jumlah cahaya yang di-transmisi-kan oleh daun dalam dua berkas panjang gelombang dimana daya serap khlorofil berbeda. Nilai SPAD yang ditentukan menggunakan SPAD-502 memberikan indikasi tentang jumlah relatif khlorofil yang ada di dalam daun. Dobermann and Fairhurst (2000) melaporkan nilai SPAD sebesar 35 bagi daun paling atas yang telah mengembang sempurna digunakan sebagai suatu nilai batas bagi kekurangan N (perlu diberi N) pada padi indica unggul yang ditransplantasikan. Batas bagi padi tanam langsung adalah nilai SPAD sebesar 32-33. Kedua peralatan/mesin ini, mengukur kandungan khlorofil daun lebih tepat. Tapi karena harganya yang mahal, untuk maksud-maksud praktis jarang digunakan.
Dalam perkembangan pemanfaatan warna hijau daun untuk menentukan status N tanaman suatu seri warna hijau, sesuai dengan warna daun di lapang, disusun dalam suatu “kartu” dan warna dari daun dibandingkan dengan warna-warna yang ada di kartu ini. Nomor warna pada kartu yang sesuai dengan warna daun dinyatakan sebagai nilai warna (atau nilai BWD) dari daun tersebut. Berdasarkan berbagai penelitian dan pengujian ternyata bila nilai warna suatu daun lebih rendah dari nilai kritis tertentu berarti tanaman memerlukan tambahan pupuk N.
Bagan warna daun
Bagan warna daun (BWD) pertama kali dikembangkan di Jepang, dan kemudian peneliti-peneliti dari Universitas Pertanian Zhejiang-Cina mengembangkan suatu BWD yang lebih baik dan mengkalibrasinya untuk padi indica, japonica dan hibrida. Alat ini kemudiannya menjadi model bagi BWD yang didistribusikan oleh Crop Resources and Management Network (CREMNET) – IRRI untuk tanaman padi; suatu alat yang sederhana, mudah digunakan, dan tidak mahal untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi. BWD ini merupakan alat yang cocok untuk mengoptimalkan penggunaan N, dengan berbagai sumber pupuk N; pupuk-organik, pupuk-bio ataupun pupuk-kimia.
BWD terdiri dari empat warna hijau, dari hijau kekuningan (No. 2 pada kartu) sampai hijau tua (No. 5 pada kartu). BWD tak dapat menunjukkan perbedaan warna hijau daun yang terlalu kecil sebagaimana pada khlorofil meter (SPAD). Namun BWD bisa dibandingkan dengan SPAD untuk menentukan ketepatan relatifnya dalam menentukan status N tanaman padi.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Sukamandi, didapatkan korelasi dan regresi yang sangat nyata secara statistik antara nilai-nilai BWD dan SPAD, karena itu nilai BWD dapat digunakan untuk meregresikan nilai SPAD, pada berbagai musim, tipe tanah dan varietas padi. Nampak bahwa pembacaan BWD dapat digunakan dengan ketepatan dan validitas yang tinggi untuk mengukur warna daun.
Bagaimana mengukur warna daun
Pilih daun termuda yang telah kembang sempurna dan sehat dari suatu tanaman untuk pengukuran warna daun. Warna daun ini sangat berhubungan dengan status N tanaman padi. Dari tiap lahan, pilih 10 daun dari 10 tanaman yang dipilih secara random (lebih banyak lebih baik) dan mewakili daerah penanaman. Pastikan memilih tanaman dalam suatu area dimana populasi tanaman seragam.
Ukur warna dari tiap daun yang terpilih dengan memegang BWD dan menempatkan bagian tengah daun di atas standar warna untuk dibandingkan (Gambar 1). Selama pengukuran, tutupi daun yang sedang diukur dengan badan karena pembacaan warna daun dipengaruhi oleh sudut matahari dan intensitas cahaya matahari. Jangan memotong ataupun merusak daun, dan bila mungkin sebaiknya pengukuran dilakukan oleh orang yang sama pada waktu yang sama di hari-hari pengamatan.
Bila warna daun nampaknya berada diantara dua standar warna, ambil rata-rata dari keduanya sebagai pembacaan warna daun. Contoh; bila warna suatu daun padi terletak antara No. 3 dan No. 4, maka bacaan warna daun adalah 3,5.
Hitung rata-rata dari 10 pembacaan BWD. Bila nilai rata-rata pembacaan warna daun lebih rendah dari batas kritis yang sudah ditetapkan, atau bila lebih dari 5 daun yang mempunyai pembacaan warna daun rendah dari batas kritis yang sudah ditetapkan, segera berikan pupuk N untuk mengkoreksi kekurangan N pada pertanaman.
Penggunaan BWD berdasarkan kebutuhan riel tanaman
Berikan pemupukan N awal sebesar 50-75 kg Urea/ha sebelum 14 HST, kamu tak perlu menggunakan BWD saat ini. Pembacaan BWD mulai sekitar 25 HST bagi padi pindah tanam. Lanjutkan pengambilan/pembacaan pada interval waktu 7-10 hari sampai 50 HST, atau sampai 10% pembungaan pada hibrida dan padi tipe baru (PTB).
Nilai warna kritis untuk pemupukan N adalah 4, bila pembacaan BWD kecil dari 4 berikan pupuk N pada tanaman padi. Jumlah N yang diberikan bagi varietas padi indica yang semi pendek (semidwarf) tergantung pada besarnya hasil yang diharapkan. Pada target hasil sebesar 5 t/ha berikan 50 kg Urea/ha, dan bila target hasil tanamanmu lebih tinggi maka pupuk N yang diberikan juga harus lebih tinggi; berikan lagi tambahan 25 kg Urea/ha untuk setiap ton hasil harapan yang lebih tinggi dari 5 t/ha (Tabel 2).
Tabel 2. Takaran pemberian Urea (kg/ha) setelah pembacaan BWD lebih rendah dari 4 berdasarkan kebutuhan riel tanaman, pada beberapa hasil gabah yang diharapkan.*
Respons terhadap pemupukan N, dengan hasil harapan (t/ha)
Rendah (5)
Sedang (6)
Tinggi (7)
Sangat tinggi (8)
50
75
100
125
Sumber: BB Padi (2006)
* Untuk hasil harapan diasumsikan unsur hara lain seperti P dan K tidak merupakan faktor pembatas.
Penggunaan BWD berdasarkan stadia fenologi
Pada padi sawah, direkomendasikan pemberian pupuk N tiga kali untuk efisiensi yang lebih tinggi. Yang pertama adalah pada waktu tanam atau sebelum 14 HST, yang kedua pada stadia anakan aktif (21-28 HST), dan yang ketiga pada stadia primordia bunga (50 HST). Pada hibrida dan padi tipe baru (PTB) diberikan yang keempat sekitar 10% berbunga. Dengan cara ini pembacaan BWD hanya 2-3 kali selama pertumbuhan tanaman.
Berikan pemupukan N awal sebesar 50-75 kg Urea/ha sebelum 14 HST, kali ini tak perlu digunakan BWD. Pada waktu pemupukan kedua dan ketiga (dan keempat pada hibrida dan PTB) bandingkan warna daun dengan BWD;
Bila nilai BWD rata-rata 3,0 atau kurang, berikan 75 kg Urea/ha pada hasil harapan sebesar 5 t/ha. Tambahkan lagi 25 kg Urea/ha untuk setiap satu t/ha lebih tingginya hasil harapan.
Bila rata-rata nilai BWD antara 3,5 dan 4,0; berikan 50 kg Urea/ha pada hasil harapan sebesar 5 t/ha. Tambahkan lagi 25 kg Urea/ha untuk setiap ton/ha lebih tingginya hasil harapan.
Bila rata-rata nilai BWD antara 4,0 dan 4,5; tak perlu memberikan pupuk N bila hasil harapan hanya 5-6 t/ha. Tambahkan 50 kg Urea/ha bila hasil harapan lebih dari 6 t/ha (Tabel 3).
Tabel 3. Takaran pemberian Urea (kg/ha) setelah pembacaan BWD lebih rendah dari 4 berdasarkan kebutuhan riel tanaman, pada beberapa hasil gabah yang diharapkan.*
Respons terhadap pemupukan N, dengan hasil harapan (t/ha)
Pembacaan BWD
Rendah (5)
Sedang (6)
Tinggi (7)
Sangat tinggi (8)
3.0 or less
75
100
125
150
3.5-4.0
50
75
100
125
4.0-4.5
0
0-50
50
50
Sumber: BB Padi (2006)
* Untuk hasil harapan diasumsikan unsur hara lain seperti P dan K tidak merupakan faktor pembatas.
Pada tanaman padi, suatu faktor pertumbuhan paling penting yang membatasi respons tanaman terhadap pupuk N yang diberikan adalah air. Respons terhadap pemupukan N terbatas bila ketersediaan air kurang, dan musim tertentu cendrung memberikan hasil lebih tinggi dalam setahun. Hal yang sama juga berlaku bagi perbedaan efisiensi kultivar padi terhadap pupuk N. Karena alasan-alasan ini, hasil harapan suatu kultivar tanaman padi pada musim yang berbeda bervariasi. Karena itu takaran pupuk N bagi kelompok kultivar lain harus ditentukan sendiri secara lokal.
Respons terhadap N juga tergantung pada baik buruknya suplai unsur hara yang lainnya. Tanpa pemberian P dan K respons hasil terhadap peningkatan N lebih rendah dibanding bila P dan K diberikan dalam jumlah yang cukup. Disamping itu, respons terhadap pemberian P dan K adalah lebih besar bila suplai N banyak. Dobermann and Fairhurst (2000) menyatakan bahwa bila N yang diberikan ke tanaman cukup, maka kebutuhan terhadap unsur makro lain seperti P dan K bertambah.
Selanjutnya, Mengel dan Kirkby (1979) melaporkan bahwa gejala defisiensi (kekurangan) Fe, Ca dan S adalah mirip dengan gejala kekurangan N, dicirikan oleh menguning atau memucatnya daun. Devlin and Witham (1983) menyimpulkan bahwa bersamaan dengan kekurangan N, kekurangan P dapat menyebabkan daun gugur sebelum waktunya dan terjadinya pigmentasi antosianin bewarna jingga atau merah. Dobermann and Fairhurst (2000) juga mengingatkan bahwa gejala-gejala kekurangan S dan Fe agak mirip dengan kekurangan N.
Dapat disimpulkan bahwa pembacaan BWD, untuk pengukuran warna daun padi, pemupukan N haruslah mempertimbangkan kondisi optimal faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan. Keseimbangan hara adalah salah satunya yang dapat mempengaruhi pembacaan warna daun. Dengan cara ini, keuntungan maksimum dari penggunaan BWD pasti akan dapat dicapai.
Kesimpulan
Gejala kekurangan N yang paling jelas dan biasa ditemui dalam produksi tanaman adalah khlorosis, yang umumnya agak terdistribusi merata pada keseluruhan daun. Daun menjadi lebih pucat, hijau kekuningan dan bahkan sampai mati. Berkurangnya warna hijau pada daun biasanya diiringi oleh berkurangnya pertumbuhan dan hasil. Karena itu, terutama pada tanaman padi, pertumbuhan dan hasil tanaman berhubungan erat dengan intensitas relatif warna hijau dari daun.
Efisiensi penggunaan pupuk N hanya dalam kisaran 19-47%, dan pemberian tepat waktu adalah salah satu usaha untuk meningkatkannya. Umumnya, tiga kali pemberian pupuk N disarankan pada tanaman padi sawah. Mengetahui waktu yang paling baik untuk memberikan pupuk N tentu saja akan meningkatkan efisiensi serapan pupuk.
Terdapat berbagai metoda pengukuran warna daun yang mudah di lapang, dari penggunaan peralatan mesin sampai alat sederhana. Bagan Warna Daun (BWD) adalah suatu alat yang sederhana, mudah digunakan, dan tidak mahal untuk menentukan waktu pemupukan N pada padi sawah. Alat ini adalah alat ideal untuk meng-optimal-kan penggunaan N, apapun sumber pupuk N nya. Sebagai tambahan, dengan menggunakan BWD, respons suatu tanaman padi terhadap pemupukan N pada suatu musim tanam tertentu dapat ditentukan.
References
BB Padi. 2006. Bagan warna daun, menghemat penggunaan pupuk N. Bekerja sama dengan Puslitbangtan, BB PPSLP, BB PPTP dan IRRI.
CREMNET. 2000. Technology Brief No. 2 (Revised). IRRI, Makati City, Philippines
Devlin, R.M. and F.H. Witham. 1983. Plant Physiology, fourth edition. Willard Grant Press, Boston.
Dobermann, A and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute (IRRI). Potash & Phosphate Institute of Canada.
Furuya, S. 1987. Growth Diagnosis of Rice Plants by Means of Leaf Colour. JARQ Vol. 20 (3): 147-153
Kim, K.S., G.A. Giacomelii, S. Sase, J.E. Son, S.W. Nam and F. Nakazama. 2006. Optimization of Growth Environment in a Plant Production Facility Using a Chlorophyll Fluorescence Method. JARQ 40 (2): 149-156.
KONICA MINOLTA. 1989. Chlorophyll Meter SPAD-502 Manual. Konica Minolta Sensing, Inc. Japan
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1979. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. P.O. Box CH-3048 Worblaufen-Bern, Switzerland.
Mukherjee, S.K. 1986. Chemical Technology for Producing Fertilizer Nitrogen in the year 2000. In: Global Aspects of Food Production. P: 227-237 M.S. Swaminathan and S.K. Sinha (Eds.). Tycooly International Riverton, New Jersey-United States.
Prasad, R. 1986. Fertilizer Nitrogen: Requirements and Management. In: Global Aspects of Food Production. P: 199-226 M.S. Swaminathan and S.K. Sinha (Eds.). Tycooly International Riverton, New Jersey-United States.